The Widgipedia gallery
requires Adobe Flash
Player 7 or higher.

To view it, click here
to get the latest
Adobe Flash Player.

Monday, July 22, 2013

Mengenal Credit Union

Ungkapan ”credit union” mungkin kurang akrab di telinga kebanyakan rakyat Indonesia. Padahal, berdasarkan definisi, sejarah, dan prinsip yang dianutnya, Credit Union (CU) sejatinya adalah koperasi simpan pinjam sebagaimana koperasi simpan pinjam pada umumnya.

Simaklah dua definisi CU berikut. Credit union adalah not-for-profit cooperative institution dan ”lembaga keuangan koperasi yang dimiliki dan dikendalikan oleh anggotanya”. Berdasarkan kedua definisi itu, dapat disaksikan bahwa CU sejatinya adalah koperasi simpan pinjam sebagaimana koperasi simpan pinjam pada umumnya. Karena CU adalah koperasi simpan pinjam, tidak heran bila sejarah CU cenderung berkelindan dengan sejarah perkembangan koperasi.

Sebagaimana ditulis dalam buku "Mengenal Credit Union", sejarah perkembangan koperasi tidak dapat dipisahkan dari tiga nama berikut: Robert Owen (Inggris), Franz Herman Schulze-Delitzch (Jerman), dan Fredrich Wilhem Raiffeisen (Jerman). Jika Owen dikenal sebagai ”Bapak Koperasi”, Schulze-Delitzch dan Raiffesien lebih dikenal sebagai ”Bapak CU” atau ”Bapak Koperasi Simpan Pinjam”. Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila CU mengakui pula tujuh prinsip koperasi Rochdale sebagaimana dianut dan diperbarui oleh International Cooperative Alliance (ICA).

Jika demikian, faktor apakah yang memicu penggunaan ungkapan CU sebagai pengganti ungkapan koperasi simpan pinjam? Jawabannya terletak pada konteks historis pengembangan CU di pedalaman Kalimantan Barat pada awal 1970-an. Sebagaimana diketahui, menyusul terbitnya UU Koperasi Nomor 12 Tahun 1967 dan Inpres No 4/1973, pemerintahan Soeharto hanya memperkenankan berdirinya satu unit koperasi pada setiap unit desa. Menyiasati situasi tersebut, para perintis CU berusaha menyamarkan jati diri CU dengan tidak menyebutnya sebagai koperasi simpan pinjam. Namun, karena jati diri CU sebagai koperasi sulit disembunyikan, sepanjang era pemerintahan Soeharto, CU cenderung diperlakukan sebagai koperasi ilegal.

Belakangan, setelah berakhirnya era pemerintahan Soeharto, CU secara perlahan-lahan mulai beradaptasi dengan gerakan koperasi di Indonesia. Hal itu tampak pada penyebutan CU tingkat sekunder dan tersier sebagai Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit) dan Induk Koperasi Kredit (Inkopdit). Penerbitan buku ini pun rasanya tidak dapat dipisahkan dari keinginan untuk memperkenalkan CU kepada khalayak yang lebih luas.

Pelayanan sosial

Walaupun CU sejatinya adalah koperasi simpan pinjam, tidak berarti CU sama sekali tidak memiliki perbedaan dengan koperasi simpan pinjam pada umumnya. Sesuai dengan latar belakang pembentukannya, setidak-tidaknya terdapat tiga hal yang menjadi ciri khas CU:
(a) CU memiliki citra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan sosial gereja;
(b) CU memiliki citra sebagai koperasi simpan pinjam yang secara khusus dikembangkan dalam lingkungan masyarakat Dayak; dan
(c) Dilatarbelakangi oleh kedua hal tersebut, CU cenderung agak gamang dalam merumuskan strategi pengembangan usahanya.

Sehubungan dengan citra CU sebagai suatu bentuk pelayanan sosial gereja, misalnya, sejauh mana CU melihat umat beragama lainnya sebagai potensi peningkatan jumlah anggota CU? Adapun sehubungan dengan citra CU sebagai koperasi simpan pinjam masyarakat Dayak, sejauh mana pula CU melihat wilayah di luar lingkungan masyarakat Dayak, di dalam dan di luar Kalimantan Barat, sebagai wilayah perluasan usaha CU?

Buku ini tampaknya tidak disusun untuk membahas kedua hal tersebut. Sebaliknya, buku ini berusaha memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang secara langsung berkaitan dengan aspek kelembagaan CU. Sebagaimana terungkap pada dua bab terakhir bagian pertama dan bagian kedua buku ini, dua hal yang dibahas secara panjang lebar adalah mengenai keberlanjutan dan rencana suksesi CU, serta mengenai pentingnya mencapai kebebasan finansial sebagai bagian dari upaya pembebasan masyarakat.

Jebakan kapitalisme

Sepintas lalu, kecenderungan untuk membatasi perkembangan CU sebagai bagian dari pelayanan sosial gereja dan pemberdayaan masyarakat Dayak itu mungkin tampak biasa saja. Masalahnya adalah, disadari atau tidak, secara perlahan-lahan CU kemudian cenderung tergelincir ke dalam jebakan nilai-nilai kapitalisme. Padahal, sebagai not-for-profit cooperative institution, justru kapitalismelah seharusnya yang diwaspadai oleh CU.

Pengaruh jebakan nilai-nilai kapitalisme itu dapat disimak pada terjadinya pergeseran jati diri CU dari not-for-profit cooperative institution menjadi suatu institusi yang untuk hidup dan berkembang ”harus mampu mencetak laba”. Hal serupa dapat pula disimak pada dipilihnya program magister manajemen (MM) yang didominasi nilai-nilai kapitalisme sebagai program pendidikan lanjutan oleh para kader CU.

Yang sangat memprihatinkan adalah pengadopsian ajaran kebebasan finansial absolut pada bab terakhir buku ini. Menurut ajaran yang dikembangkan antara lain oleh Anthony Robbins dan Robert T Kiyosaki itu, seseorang hanya mampu mencapai tingkat kebebasan finansial absolut bila mampu memperoleh ”pendapatan pasif”, yaitu memperoleh pendapatan tanpa mengerjakan apa pun. Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, tingkatan itu hanya mungkin dicapai bila seseorang beralih dari seorang pekerja menjadi seorang kapitalis.

Terus terang, dalam kerangka berpikir koperasi sebagaimana dianut Schulze-Delitzch dan Raiffesien, saya sulit membayangkan bahwa keduanya memang sengaja merintis pembentukan CU sebagai kendaraan untuk mencetak para kapitalis. Sebab itu, alangkah baik bila dalam edisi cetak ulang, penyebarluasan ajaran tersebut ditinjau kembali secara sungguh-sungguh.

Sumber :
http://keuanganlsm.com/referensi-2/referensi-buku/mengenal-credit-union

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Bookmark and Share

Site Meter

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP