The Widgipedia gallery
requires Adobe Flash
Player 7 or higher.

To view it, click here
to get the latest
Adobe Flash Player.

Sunday, October 03, 2010

Strategi Pengembangan Koperasi

Koperasi sebagai sektor ekonomi, bersama-sama dengan swasta dan BUMN mengalami perkembangan yang pesat di masa Orde Baru (1966-1998). Namun, koperasi dianggap paling tertinggal di belakang, dibanding dengan sektor swasta yang berkembang paling pesat, karena mengandung komponen modal asing, dan BUMN yang sangat menonjol perkembangannya di sektor perbankan dan komunikasi.

Hal ini sudah tentu menimbulkan tanda tanya, mengapa begitu keadaannya, padahal pemerintah melakukan intervensi berupa pembinaan yang cukup besar. Apakah justru karena intervensi pemerintah inilah maka koperasi terhambat perkembangannya karena ketergantungan? Dugaan ini timbul karena gejala universal, bahwa koperasi justru berkembang pesat dan menjadi besar dan kuat di negara-negara liberal yang tidak melakukan intervensi terhadap dunia usaha termasuk koperasi. Justru di negara-negara liberal itulah koperasi hidup dan mengambil peluang dalam sistem pasar yang terbuka. Kuncinya adalah solidaritas yang timbul di kalangan koperasi menghadapi persaingan bebas.

Koperasi di seluruh dunia bergabung dengan International Cooperative Alliance (ICA) yang pada tahun 2007 menerbitkan daftar 300 koperasi terbesar di dunia minimal beromzet sekitar US$ 654 miliar (sekitar Rp 6,5 triliun per tahun (koperasi terbesar di Indonesia beromzet Rp 1,5 triliun). Kebanyakan anggota Global 300 itu ternyata tumbuh di perekonomian pasar atau perekonomian campuran. Daftar koperasi Global 300 itu bisa menjadi cermin di sektor mana koperasi paling berpotensi berkembang.

Yang terbanyak di antara koperasi terbesar 300 itu adalah sektor keuangan perbankan, asuransi, koperasi kredit atau simpan pinjam (credit union) 40%, menyusul sektor pertanian 35% dan kemudian sektor perdagangan (ritail dan wholesaler), 25%. Pola itu menunjukkan masih kuatnya korelasi antara koperasi yang berdasarkan sistem demokrasi ekonomi (economic democracy) dan sistem ekonomi kapitalis, yakni sistem ekonomi yang bertolak dari capital finansial dan bertujuan akumulasi kapital.

Gambaran lain menunjukkan bahwa koperasi terbesar di dunia adalah koperasi pertanian Zeh Noh dari Jepang yang beromzet US$ 63,4 miliar dengan aset US$ 18,4 miliar. Sementara itu, di dalam koperasi buruh (workers’ cooperative) Mondragon, koperasi terbesar di Spanyol yang beromzet US$ 16,8 miliar, pangsa perdagangan ritel mencakup US$ 9 miliar, US$ 6,5 miliar sektor industri dan US$ 1,2 miliar di sektor keuangan. Koperasi itu sendiri dimulai dari sektor industri.

Korea Selatan juga menempatkan 2 koperasinya pada peringkat dunia, di antaranya koperasi pertanian. India menempatkan koperasi pupuk dan koperasi susu, di Prancis yang mengemuka adalah koperasi kredit pertanian dan menurut versi majalah Fortune yang menonjol adalah koperasi Wal-Mart di bidang ritel. Dengan demikian, prospek pengembangan koperasi dapat dimulai di beberapa sektor yang potensial dalam perekonomian bebas, yaitu di sektor pertanian, keuangan dan perdagangan ritel.

Dari pengalaman itu timbul pertanyaan, pola mana yang sebaiknya ditempuh, pengembangan koperasi serba usaha multisektoral atau tunggal usaha. Suharso Monoarfa pernah menganjurkan agar ditempuh pola tunggal usaha (single purpose cooperative), karena dengan begitu ada konsentrasi usaha dengan keanggotaan yang homogen.
Tapi yang ditempuh di Indonesia adalah koperasi serba usaha (multi purpose cooperative) yang terdiri dari tiga elemen, produksi, perkreditan dan pemasaran. Credit Agricole Group misalnya mengaitkan kredit dengan sektor pertanian, walaupun tidak terlibat dalam produksi pertanian.

Risiko penggandengan sektor kredit dengan sektor riil adalah kemungkinan kurang pruden, karena hasrat ingin membantu sektor riil yang beresiko tinggi. Namun, koperasi serba usaha mengandung keuntungan juga, yaitu sektor riil dapat membantu meningkatkan pendapatan anggota. Sementara itu, Hanna, ahli koperasi Jerman, mengatakan koperasi yang berhasil adalah yang anggotanya punya pendapatan yang memadai sehingga mampu menabung.

Menghimpun Modal

Berdasarkan asumsi, bahwa produksi memerlukan modal finansial, maka mestinya perlu dilakukan penghimpunan modal yang bisa dilakukan oleh koperasi. Namun, sebuah rencana produksi yang akan dilakukan oleh sekelompok orang yang bergabung dalam koperasi, misalnya petani, nelayan, peternak atau pengrajin, koperasi bisa memperoleh pinjaman modal dari lembaga keuangan nonkoperasi, misalnya bank.
Sayangnya, dewasa ini tidak mungkin bagi pemula untuk mendapatkan pinjaman awal dari bank, karena bank mensyaratkan pengalaman sukses selama dua tahun. Karena itu, produsen harus memulainya dengan menghimpun modal sendiri.

Sekalipun demikian, sebuah koperasi simpan pinjam bisa dimulai. Koperasi semacam ini hanya bisa dikembangkan di komunitas yang telah memiliki pendapatan yang cukup tinggi, sehingga punya sisa untuk ditabung.

Misalnya Koperasi Simpan Pinjam (KoSPin) “Jasa” Pekalongan, didirikan dan berkembang di kalangan komunitas pedagang dan pengrajin batik. Koperasi ini sukses berkembang menjadi koperasi terbesar di Indonesia karena dikelola menurut sistem perbankan yang pruden dan diproteksi dengan manajemen risiko yang ketat.

Dalam penelitiannya mengenai perkeditan rakyat di masa depresi, Sumitro Djojohadukusumo menilai bahwa lembaga perkreditan rakyat sulit berkembang karena lemahnya basis masyarakat yang produktif.

Karena itu, koperasi yang juga melakukan pelayanan jasa kredit perlu didasarkan pada kegiatan tertentu di sektor riil. Sebagai contoh, di daerah pedesaan, pelayanan kredit bisa didasarkan pada kegiatan pertanian tertentu misalnya beras, palawija, hortikultura atau tanaman perkebunan.

Tapi dalam kaitan ini, BI pernah menyelenggarakan program kredit kecil lewat lembaga keuangan mikro, namun dimulai dengan kewajiban menabung selama 6 bulan, baru BI menyuntikkan dana tambahan untuk dipinjamkan kepada mereka yang sudah memiliki jumlah tabungan minimum sebagai jaminan.

Dari pengalaman, maka strategi pengembangan koperasi perlu ada keterkaitan antara sektor kredit dengan basis masyarakat yang punya pendapatan dan kegiatan sektor riil. Zenkyoren, koperasi Jepang yang kedua terbesar di dunia adalah koperasi asuransi yang beraset US$ 46,8 miliar.

Koperasi asuransi ini didirikan di atas basis masyarakat yang punya pendapatan berlebih sehingga bisa membayar premi asuransi secara kontinu. Dana yang dapat dikumpulkan oleh lembaga asuransi ini kemudian ditanam di bank atau saham yang mampu menghasilkan pendapatan.

Mengikuti pengalaman Zenkyoren, mestinya di Indonesia bisa dikembangkan koperasi asuransi semacam ini, karena Singapura yang penduduknya hanya 4,3 juta saja punya koperasi asuransi dengan omzet US$ 1,7 miliar. Korea Selatan juga punya koperasi pertanian, National Agricultural Cooperative Federation, dengan omzet US$ 34,8 miliar, sedangkan India menampilkan dua koperasi kelas dunia, pertama adalah koperasi produsen pupuk dengan omzet US$ 1,7 miliar dan kedua koperasi susu. Sehubungan dengan koperasi susu sebenarnya bisa dikaitkan dengan produksi pupuk organik.

Karena peternakan sapi selain menghasilkan susu, juga menghasilkan kotoran sapi yang dapat dipakai sebagai bahan untuk memproduksi pupuk organik. Dengan basis kegiatan produktif yang mampu menghasilkan tingkat pendapatan memadai itu, maka koperasi akan bisa berkembang kokoh. Sisa hasil usaha koperasi bisa ditanamkan untuk ekspansi kegiatan produktif.

Masalahnya adalah, apakah di atas basis koperasi sektor riil itu perlu dikembangkan unit simpan pinjam. Di Indonesia, setiap KUD punya unit simpan pinjam. Hal inilah yang dilakukan oleh Koperasi Mondragon. Sebaliknya, keuntungan dari korporasi yang dikembangkan oleh Koperasi Mondragon ditanamkan ke berbagai kegiatan industri, termasuk industri pengetahuan.

Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang kaya sebenarnya lebih tepat jika menempuh strategi pembinaan koperasi tunggal usaha, misalnya peternakan, perikanan, kehutanan, pertambakan atau perkebunan. Namun, koperasi kredit bisa dikembangkan di lingkungan komunitas yang berpendapatan relatif tinggi, misalnya di kalangan pedagang pasar terutama dalam bentuk lembaga keuangan mikro. Sukses Kospin “Jasa” Pekalongan atau Credit Union Kalimantan Barat bisa diambil sebagai model.

Oleh : M Dawam Rahardjo
Penulis adalah Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta dan Ketua Lembaga Studi Agama dan Filsafat

Dikutip dari : http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=15166

0 comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Bookmark and Share

Site Meter

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP