Menggagas Lembaga Penjamin Simpanan Koperasi
Masih tersendatnya likuiditas di pasar uang menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan untuk mengakses dana murah. Meskipun Bank Indonesia telah menurunkan BI rate sebanyak 3 kali sejak Desember 2008, perbankan tetap terlihat enggan menurunkan suku bunga pinjaman. Dengan alasan masih tingginya cost of fund, perbankan menyalurkan kredit dengan bunga yang relatif masih mahal.
Bahkan salah satu bank besar penyalur KPR menaikkan suku bunga KPRnya sebesar 25 bps di bulan Februari ini. Suku bunga kredit rata-rata saat ini ada di kisaran 15% – 16% efektif per tahun. Selain karena masih ketatnya likuiditas di pasar uang, potensi naiknya NPL juga menjadi momok yang menakutkan bagi perbankan dalam penyaluran kredit. Profil kredit dan track record dalam hal urusan hutang piutang dengan lembaga keuangan menjadi pertimbangan utama dalam pemberian kredit kepada masyarakat.
KONDISI SAAT INI
Jumlah outstanding kredit di akhir Desember 2008 juga sudah mengalami pertumbuhan negatif. Hingga November 2008 realisasi kredit masih menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 2% di banding bulan sebelumnya, maka di bulan Desember 2008 terjadi penurunan sebesar 1,3% menjadi Rp.1.353 triliun dari sebelumnya berjumlah Rp. 1.371 triliun. Bahkan outstanding kredit terus melorot hingga Rp1.253,4 triliun di minggu ketiga Februari 2009. Ini berarti terjadi penurunan outstanding kredit sebesar Rp. 100 triliun dari bulan Desember 2008 selama 2 bulan terakhir ini saja.
Bandingkan dengan antusiasme perbankan dalam memburu SBI sebagai tempat pelarian dana. Jika di bulan November 2008 total dana perbankan yang ditaruh pada instrumen SBI berjumlah Rp.152,3 Triliun, maka di bulan Desember 2008 jumlah tersebut melonjak menjadi Rp.166,5 Triliun, atau naik sebesar 9,3 persen. Dari fakta ini terlihat jika perbankan masih berusaha menghindari resiko penyaluran kredit dan lebih memilih alternatif yang minim resiko.
Jika kondisi ini berlangsung terus menerus, tentu masyarakat akan makin sulit mengakses leverage untuk mempertahankan daya belinya. Keterbatasan daya beli masyarakat juga diperparah oleh peningkatan penghasilan yang minim dan peluang kerja yang kian sempit. Deflasi akibat penurunan harga bahan bakar minyak tidak akan membawa nikmat bila peluang masyarakat untuk bertahan hidup kian kecil. Dengan daya konsumsi masyarakat yang rendah, tentunya sektor produksi juga tidak akan mampu berjalan optimal. Sehingga lama kelamaan sendi-sendi perekonomian akan lumpuh dan resesi bertambah dekat di depan mata.
Untuk mendobrak kondisi ini diperlukan akselerasi yang memanfaatkan semua akses ekonomi termasuk optimalisasi lembaga koperasi. Koperasi sebagai soko guru ekonomi sudah lama terlupakan, bahkan tak jarang hanya menjadi penghias dalam kegiatan ekonomi bangsa kita. Saat ini adalah saat yang tepat untuk kembali menghidupkan peran koperasi dan fungsinya dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
POTENSI KOPERASI
Volume usaha koperasi secara nasional terus tumbuh. Jika di tahun 2005 volume usaha koperasi mencapai Rp. 40 triliun maka di tahun 2006 mencapai Rp. 62,17 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan per tahun 25% saja maka volume usaha koperasi di tahun 2008 bisa lebih dari Rp.100 triliun. Dengan jumlah lebih dari 145 ribu unit pada akhir Desember 2008 dan tersebar di 33 propinsi, koperasi bisa memiliki peranan vital dalam memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat terutama golongan menengah ke bawah. Total modal sendiri koperasi juga mengalami peningkatan. Tahun 2005 koperasi memiliki modal sendiri sebesar Rp. 14,8 triliun dan tumbuh 13% di tahun berikutnya menjadi Rp. 16,8 triliun. Dengan asumsi tingkat pertumbuhan yang sama maka modal sendiri koperasi di tahun 2008 bisa mencapai lebih dari Rp. 21,5 triliun. Jumlah modal ini setara dengan 9% dari total permodalan perbankan nasional di Desember 2008, yang sebesar Rp. 219 triliun, dan lebih besar dari jumlah modal perbankan syariah saat ini.
Dengan potensi sebesar ini pantas kiranya bila kita memanfaatkan koperasi untuk keluar dari jurang resesi ekonomi. Salah satunya adalah dengan mengembangkan koperasi simpan pinjam (KSP) yang saat ini berjumlah lebih dari 38 ribu dan tersebar di seluruh Indonesia. Kemampuan untuk mencakup daerah yang sangat luas dan menjangkau daerah terpencil serta pedesaan maka KSP berpotensi menjadi lembaga penyedia dana yang vital bagi masyarakat.
PENDIRIAN LPS KOPERASI
Salah satu kendala bagi optimalisasi fungsi KSP adalah ketiadaan lembaga penjamin bagi dana simpanan di koperasi simpan pinjam. Hal ini akan menyurutkan minat anggota koperasi untuk menyimpan dana dalam jumlah besar. Sumber pendanaan bagi koperasi saat ini bersumber dari modal sendiri dan modal luar. Modal sendiri berasal dari simpanan wajib dan simpanan pokok serta hibah, sedangkan modal luar berasal dari pihak internal, yaitu berupa simpanan sukarela atau simpanan berjangka, maupun hutang pada pihak eksternal. Total modal luar koperasi tahun 2006 mencapai lebih dari Rp. 22 triliun. Jika koperasi memiliki lembaga penjamin simpanan tak mustahil koperasi simpan pinjam akan mampu mengumpulkan simpanan anggota lebih dari itu.
Daya tarik untuk menyimpan dana di koperasi juga semakin besar dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomer 15 tahun 2009 tentang penurunan tarif pajak bunga simpanan koperasi bagi anggota koperasi orang pribadi. Jika semula tarif pajak yang berlaku sebesar 15% final maka di Peraturan Pemerintah yang baru tarif pajak atas bunga simpanan koperasi turun menjadi 10% final. Bunga simpanan akan terkena pajak jika jumlah yang diterima lebih dari Rp 240.000 per bulan dan bebas pajak jika bunga yang diterima kurang dari itu. Jauh lebih menarik jika dibandingkan dengan menyimpan dana di bank yang dipotong pajak sebesar 20%.
Untuk mempercepat pendirian LPS bagi koperasi, Pemerintah bisa memanfaatkan lembaga yang sekarang sudah ada. LPS saat ini hanya menjamin dana masyarakat yang disimpan di bank dan BPR. LPS bisa meningkatkan perannya dengan menjadi penjamin simpanan bagi dana masyarakat yang disimpan di koperasi simpan pinjam. Dengan adanya jaminan dari LPS maka masyarakat tak perlu khawatir lagi menyimpan dana di koperasi. Sehingga KSP bisa menyerap dana secara maksimal dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana serapannya kepada masyarakat yang membutuhkan. Dengan fungsi intermediasinya, KSP bisa menjadi faktor penggerak bagi sektor produksi dan konsumsi.
Di lain pihak, pengurus dan pengelola KSP harus meningkatkan kompetensinya dalam pengelolaan keuangan dan manajemen resiko yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikasi pengelola keuangan dan manajemen resiko yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi terpercaya. Sehingga dana masyarakat yang disimpan di KSP bisa dikelola semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa meninggalkan prinsip kehati-hatian.
Sumber : Harian KONTAN, 25 Februari 2009
Bahkan salah satu bank besar penyalur KPR menaikkan suku bunga KPRnya sebesar 25 bps di bulan Februari ini. Suku bunga kredit rata-rata saat ini ada di kisaran 15% – 16% efektif per tahun. Selain karena masih ketatnya likuiditas di pasar uang, potensi naiknya NPL juga menjadi momok yang menakutkan bagi perbankan dalam penyaluran kredit. Profil kredit dan track record dalam hal urusan hutang piutang dengan lembaga keuangan menjadi pertimbangan utama dalam pemberian kredit kepada masyarakat.
KONDISI SAAT INI
Jumlah outstanding kredit di akhir Desember 2008 juga sudah mengalami pertumbuhan negatif. Hingga November 2008 realisasi kredit masih menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 2% di banding bulan sebelumnya, maka di bulan Desember 2008 terjadi penurunan sebesar 1,3% menjadi Rp.1.353 triliun dari sebelumnya berjumlah Rp. 1.371 triliun. Bahkan outstanding kredit terus melorot hingga Rp1.253,4 triliun di minggu ketiga Februari 2009. Ini berarti terjadi penurunan outstanding kredit sebesar Rp. 100 triliun dari bulan Desember 2008 selama 2 bulan terakhir ini saja.
Bandingkan dengan antusiasme perbankan dalam memburu SBI sebagai tempat pelarian dana. Jika di bulan November 2008 total dana perbankan yang ditaruh pada instrumen SBI berjumlah Rp.152,3 Triliun, maka di bulan Desember 2008 jumlah tersebut melonjak menjadi Rp.166,5 Triliun, atau naik sebesar 9,3 persen. Dari fakta ini terlihat jika perbankan masih berusaha menghindari resiko penyaluran kredit dan lebih memilih alternatif yang minim resiko.
Jika kondisi ini berlangsung terus menerus, tentu masyarakat akan makin sulit mengakses leverage untuk mempertahankan daya belinya. Keterbatasan daya beli masyarakat juga diperparah oleh peningkatan penghasilan yang minim dan peluang kerja yang kian sempit. Deflasi akibat penurunan harga bahan bakar minyak tidak akan membawa nikmat bila peluang masyarakat untuk bertahan hidup kian kecil. Dengan daya konsumsi masyarakat yang rendah, tentunya sektor produksi juga tidak akan mampu berjalan optimal. Sehingga lama kelamaan sendi-sendi perekonomian akan lumpuh dan resesi bertambah dekat di depan mata.
Untuk mendobrak kondisi ini diperlukan akselerasi yang memanfaatkan semua akses ekonomi termasuk optimalisasi lembaga koperasi. Koperasi sebagai soko guru ekonomi sudah lama terlupakan, bahkan tak jarang hanya menjadi penghias dalam kegiatan ekonomi bangsa kita. Saat ini adalah saat yang tepat untuk kembali menghidupkan peran koperasi dan fungsinya dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
POTENSI KOPERASI
Volume usaha koperasi secara nasional terus tumbuh. Jika di tahun 2005 volume usaha koperasi mencapai Rp. 40 triliun maka di tahun 2006 mencapai Rp. 62,17 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan per tahun 25% saja maka volume usaha koperasi di tahun 2008 bisa lebih dari Rp.100 triliun. Dengan jumlah lebih dari 145 ribu unit pada akhir Desember 2008 dan tersebar di 33 propinsi, koperasi bisa memiliki peranan vital dalam memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat terutama golongan menengah ke bawah. Total modal sendiri koperasi juga mengalami peningkatan. Tahun 2005 koperasi memiliki modal sendiri sebesar Rp. 14,8 triliun dan tumbuh 13% di tahun berikutnya menjadi Rp. 16,8 triliun. Dengan asumsi tingkat pertumbuhan yang sama maka modal sendiri koperasi di tahun 2008 bisa mencapai lebih dari Rp. 21,5 triliun. Jumlah modal ini setara dengan 9% dari total permodalan perbankan nasional di Desember 2008, yang sebesar Rp. 219 triliun, dan lebih besar dari jumlah modal perbankan syariah saat ini.
Dengan potensi sebesar ini pantas kiranya bila kita memanfaatkan koperasi untuk keluar dari jurang resesi ekonomi. Salah satunya adalah dengan mengembangkan koperasi simpan pinjam (KSP) yang saat ini berjumlah lebih dari 38 ribu dan tersebar di seluruh Indonesia. Kemampuan untuk mencakup daerah yang sangat luas dan menjangkau daerah terpencil serta pedesaan maka KSP berpotensi menjadi lembaga penyedia dana yang vital bagi masyarakat.
PENDIRIAN LPS KOPERASI
Salah satu kendala bagi optimalisasi fungsi KSP adalah ketiadaan lembaga penjamin bagi dana simpanan di koperasi simpan pinjam. Hal ini akan menyurutkan minat anggota koperasi untuk menyimpan dana dalam jumlah besar. Sumber pendanaan bagi koperasi saat ini bersumber dari modal sendiri dan modal luar. Modal sendiri berasal dari simpanan wajib dan simpanan pokok serta hibah, sedangkan modal luar berasal dari pihak internal, yaitu berupa simpanan sukarela atau simpanan berjangka, maupun hutang pada pihak eksternal. Total modal luar koperasi tahun 2006 mencapai lebih dari Rp. 22 triliun. Jika koperasi memiliki lembaga penjamin simpanan tak mustahil koperasi simpan pinjam akan mampu mengumpulkan simpanan anggota lebih dari itu.
Daya tarik untuk menyimpan dana di koperasi juga semakin besar dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah nomer 15 tahun 2009 tentang penurunan tarif pajak bunga simpanan koperasi bagi anggota koperasi orang pribadi. Jika semula tarif pajak yang berlaku sebesar 15% final maka di Peraturan Pemerintah yang baru tarif pajak atas bunga simpanan koperasi turun menjadi 10% final. Bunga simpanan akan terkena pajak jika jumlah yang diterima lebih dari Rp 240.000 per bulan dan bebas pajak jika bunga yang diterima kurang dari itu. Jauh lebih menarik jika dibandingkan dengan menyimpan dana di bank yang dipotong pajak sebesar 20%.
Untuk mempercepat pendirian LPS bagi koperasi, Pemerintah bisa memanfaatkan lembaga yang sekarang sudah ada. LPS saat ini hanya menjamin dana masyarakat yang disimpan di bank dan BPR. LPS bisa meningkatkan perannya dengan menjadi penjamin simpanan bagi dana masyarakat yang disimpan di koperasi simpan pinjam. Dengan adanya jaminan dari LPS maka masyarakat tak perlu khawatir lagi menyimpan dana di koperasi. Sehingga KSP bisa menyerap dana secara maksimal dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana serapannya kepada masyarakat yang membutuhkan. Dengan fungsi intermediasinya, KSP bisa menjadi faktor penggerak bagi sektor produksi dan konsumsi.
Di lain pihak, pengurus dan pengelola KSP harus meningkatkan kompetensinya dalam pengelolaan keuangan dan manajemen resiko yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikasi pengelola keuangan dan manajemen resiko yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi terpercaya. Sehingga dana masyarakat yang disimpan di KSP bisa dikelola semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa meninggalkan prinsip kehati-hatian.
Sumber : Harian KONTAN, 25 Februari 2009
0 comments:
Post a Comment