Krisis Keuangan Keluarga Sudah Ada Di Rumah Kita
Oleh : Y.Kusmanto
”Kehidupan ke depan semakin sulit, saya kurang tahu apakah saya dapat bertahan, saya tidak bisa membayangkan, bagi mereka yang penghasilan pas-pasan menanggung beban untuk menghidupi keluarga” (sharing: seorang ibu, dalam pertemuan APP 2009)
Pendahuluan
Judul diatas sengaja saya pilih, untuk menggambarkan bahwa krisis keuangan riil, selain menimpa bangsa ini, menimpa perusahaan (termasuk tempat kita bekerja), memporakpandakan kegiatan usaha, juga menimpa atau memberi beban keuangan keluarga. Selanjutnya dikaitkan dengan masa pra Paskah ini, paling tidak dari kita diharapkan (kalau mau tentunya), berani memperbaruhi diri atau memberdayakan diri menformat ”tata kelola keuangan keluarga kita” secara lebih bijak, seperti melakukan tindakan atau gerakan hidup lebih sederhana, mengurangi pola hdup boros dan berani menunda kesenangan dsbnya, sebagai salah satu bentuk pertobatan diri (perubahan sikap) secara nyata, sederhana dan bermanfaat bagi kita dan keluarga, dalam menghadapi krisis keuangan.
Dampak Krisis Keuangan
Di berbagai mass media, potret dampak krisis keuangan memang sudah banyak diulas seperti turunnya nilai tukar rupiah (yang menyebabkan biaya hidup naik), pengurangan jumlah pekerja (PHK), tumbangnya berbagai perusahaan; terpuruknya berbagai kegiatan usaha, serta semakin bertambahnya kasus-kasus bunuh diri (kriminalitas) di sektor keluarga, karena kesulitan ekonomi.
Ibarat bola yang sudah ditendang dan dimulai di Amerika, bola ”krisis” itu berefek domino, mempengaruhi sistem keuangan negara serta warga negara lain, tak terkecuali di Indonesia, di Paroki kita, di Lingkungan kita. Dengan kata lain, krisis keuangan itu dampaknya ”bukan sudah ada didepan pintu kita”, melainkan bola itu sudah ada dirumah tangga kita”, dan telah menyentuh permasalahan sendi sendi pengelolaan keuangan rumah tangga kita, seperti penghasilan yang terbatas; pengeluaran yang semakin membengkak, ”gali lubang tutup lubang dsbnya.
Situasi diatas, tidak bisa tidak, menuntut kita untuk perlu melihat kembali ”potret pola pengelolaan keuangan keluarga kita selama ini” . Mungkin saja, kita sudah dijalan yang ”ideal” (aman); mungkin juga kita sudah mengetahui arah pola pengelolaan keuangan yang bijak,, Tetapi tidak bisa dipungkiri, adanya potret ”tata kelola keuangan kita” yang berwajah ”bopeng-bopeng” yang perlu dipoles, agar tidak begitu parah, dan beresiko tinggi.
Tata kelola keuangan yang bijak, untuk mereka yang berpenghasilan cukup (besar)?
Ungkapan diatas, sering muncul disekitar kita, entah di kantor maupun dilingkungan yang terlibat dalam pemberdayaan keuangan keluarga dan menimbulkan kesan, karena penghasilan terbatas, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sudah repot atau sulit, tata kelola keuangan rumah tangga tidak diperlukan. Alasan itu, memang ada, namun kurang masuk akal. Siapa dapat menjamin sehari-harinya mereka tidak boros atau tidak ”salah arah” ( kelola ), seperti ”dapat duit hari ini, habis hari ini”, karena pengalaman disana-sini, juga tak dapat dipungkiri, mereka yang berpenghasilan terbatas, pola pengeluaran konsumtifnyapun tidak sedikit.
Yang jelas, tata kelola keuangan keluarga yang bijak” diperlukan kita semua, tidak memandang, sudah ”kaya/miskin” atau berpenghasilan ”cukup/pas-pasan”.
• Justru karena penghasilan Anda terbatas, pengelolaan juga diperlukan, karena kalau tidak, Anda bisa tidak memiliki apa-apa lagi (yang dimiliki akhirnya cuma masalah) dan sekali lagi ”tidak ada yang bisa mengubah nasib kita”, kecuali dari ”diri kita sendiri” (secara iman ”Tuhan akan menilai menurut usaha yang kita lakukan, seperti nilai-nilai hidup berhemat, sederhana, pengorbanan diri, bersedia menunda kesenangan untuk masa yang akan datang”)
• Justru karena Anda memiliki penghasilan cukup, pengelolaan juga diperlukan, karena kalau tidak, maka penghasilan Anda bisa habis begitu saja untuk hal-hal yang mungkin kurang berguna, atau pengeluaran yang sifatnya memenuhi kebutuhan bukan pokok (misalnya keinginan/kesenangan/hobby secara berlebihan) dan lupa kebutuhan Anda dimasa yang akan datang ( Secara iman : Paling tidak bersyukurlah dalam kondisi krisis keuangan disana-sini, Anda masih memiliki penghasilan yang cukup)
Mengapa kita mesti mengelola keuangan keluarga
Ada beberapa alasan mengapa, setiap keluarga cepat maupun lambat, perlu menata keuangan keluarga, antara lain terinci sebagai berikut.
• Penghasilan terbatas sedangkan pengeluaran semakin kompleks
• Usia produktif manusia terbatas
• Adanya tanggungjawab keluarga dan resiko dimasa yang akan datang
• Tidak ada pihak/orang lain (juga sauadara) yang akan membantu mengubah nasib kita, kecuali kita sendiri
• Cenderung umum kita bermental konsumtif
Rambu-rambu arah tata keuangan yang ideal
Pada dasarnya, permasalahan keuangan antara keluarga yang satu dan lainnya relatif tidak berbeda, kalau kita mencoba mengiventarisasikan atau memotret pola pengelolaan keuangan keluarga kita sehari-hari, maka permasalahan pokok yang sering muncul, kurang lebihnya menyangkut 4 (empat aspek) yaitu :
a. Kurang dapat membedakan antara pengeluaran untuk memenuhi ”kebutuhan” dan ”keinginan”
b. Kurangnya dapat membedakan antara ” Kaya” dan ”Penghasilan Tinggi”
c. Pengeluaran lebih banyak dari penghasilan
d. Tidak (kurang) memiliki sikap skala prioritas
a. Kebutuhan versus Keinginan (hobby/kesenangan)
Tahukah Anda bahwa pos – pos pengeluaran Anda setiap bulannya bisa menjadi sangat banyak ? Pada hal diantara berbagai pos tersebut dapat dilakukan penghematan atau perlu dipoles (kontrol) agar tidak boros. Bagi mereka yang sudah berkeluarga (anak) maka pengeluaran tiap bulannya akan semakin kompleks, bahkan sering terjadi, kita penuhi pengeluaran keinginan kita dulu, dan sisanya baru untuk keperluan kebutuhan (hal yang pokok).
Kebutuhan adalah barang dan jasa yang benar-benar kita perlukan, kita prioritaskan jika kita tidak bisa mendapatkan barang dan jasa tersebut maka kehidupan kita akan terancam, terganggu atau kita menjadi susah. Sebagai contoh nyata adalah makanan untuk tetap bertahan hidup.Apabila kita tidak makan sama sekali, maka dalam batas waktu tertentu kita akan mati. Contoh yang lain dapat kita cari sendiri misalnya pendidikan, assuransi, transport.
Sementara yang dinamakan ”Keinginan” bisa dilakukan setelah ”kebutuhan” terpenuhi, yaitu keperluan manusia akan barang dan jasa yang dibeli hanya semata untuk kesenangan atau hobby dan dana pengeluaran untuk kebutuhan ini relatif tidak terbatas, karena sudah menyentuh pemenuhan perasaan manusia (kepuasan pribadi manusia) yang sifatnya amat relatif dan umumnya keinginan lebih cenderung didorong oleh rasa tamak atau untuk aktualitas diri.. Sebagai contoh. membeli peralatan digital Hand Phone , pakaian, makan ditempat tertentu dengan mensyaratkan merk-merk tertentu atau simbol sosial tertentu. Membeli baju keluarga (suami, istri, anak-anak) misalnya ”sering kita kurang kontrol ” (pada hal dilemari kita,sudah menumpuk dan masih bagus-bagus) atau kita memilik HP atau Pakaian relatif murah, kemudian kita menjadi minder. Seringkali pengeluaran-pengeluaran ini sifatnya untuk memuaskan ego kita (termasuk hoby). Padahal kalau dihitung-hitung jumlah pengeluaran ini bisa relatif besar. Cobalah menghitungnya.
Secara ”hitam putih” memang kadang sulit membedakan antara pengeluaran yang sifatnya ”kebutuhan dan keinginan, disamping sifatnya relatif, dan tentunya ada alasan yang mendasarinya.
b. Kaya versus Penghasilan tinggi
Memiliki penghasilan yang tinggi atau cukup besar, tentu kita mensyukurinya, namun tahukah Anda, bahwa seringkali dengan kondisi ”status” penghasilan tinggi atau besar tersebut, kita dapat alpa, untuk menyisihkan dari penghasikan tadi untuk menambah kekayaan, menabung untuk keluarga kita kedepannya.? Karena salah kelola uang atau hidup boros” ”kekayaannya sedikit. Uang disatu sisi sebagai sumber rahmat, pemberian Tuhan, dilain pihak bisa menjadi sumber pemicu masalah. Suatu sifat yang paradoksional.
Yang dimaksudkan ”Penghasilan Tinggi” adalah penghasilan riil kita (yang masuk) yang jumlahnya cukup besar, yang kita terima setiap bulannya, entah kita sebagai karyawan, penjual jasa atau pengusaha. Sedangkan kata ”kaya” adalah seberapa banyak, kita menyisihkan, menyimpan (menabung) dan memiliki harta dari penghasilan yang kita peroleh tersebut (Jadi sifatnya uang keluar, tapi untuk memiliki harta (simpanan) yang memiliki manfaat bagi kepentingan keluarga kita kedepannya, misalnya assuransi pendidikan, simpanan untuk hari tua, cadangan untuk mengantisipasi resiko tertentu. Jadi untuk pengeluaran yang bermanfaat dimasa yang akan datang juga menjadi pertimbangan dalam pengelolaan keuangan keluarga)
Dari gambaran diatas dapat simpulkan bahwa penghasilan tinggi tidak menjamin kita bisa ”kaya” dan sebaliknya ”penghasilan yang terbatas” tidak tertutup mereka bisa menjadi ”kaya”. Kuncinya, bagaimana kita mengelola keuangan yang kita miliki.
c. Pengeluaran lebih banyak dari penghasilan
Krisis keuangan, telah menimbulkan beban keluarga dan kenaikan harga diberbagai kebutuhan (barang maupun jasa) tidak tertutup adanya ”ketekoran” setiap akhir bulannya. Pengeluaran dapat diibaratkan air yang selalu mengalir terus. Sejumlah rupiah yang baru saja kita ambil dari tabungan atau dompet kita, rasanya cepat habis saja. Kalau tiap bulan ”tekor” terus dan tabungan diambil terus, lalu bagaimana ?
Penyelesaiannya tidak begitu mudah, mencari tambahan penghasilan dalam kondisi saat ini terasa gamang (kecuali untuk orang-orang tertentu, yang memang nasibnya baik). Andaikan kita bisa menambah penghasilan, patut kita syukuri, kalau tidak, maka pos pengeluaranlah yang perlu dipangkas dengan serius. Keluarga harus berani (dengan komunikasi keluarga tentunya) melakukan penghematan misalnya (listrik, telpon, belanja konsumsi, hobby).
Menyangkut hutang atau pinjaman dari pihak ke 3 (tiga) bank, atau teman atau rentenir misalnya. Walaupun ”lepas bebas dari hutang adalah hal yang mustahil (negara kita, hidup juga dari hutang) atau sulit. Namun ada pepatah yang bagus, yang penah saya dengar, berkaitan dengan hutang (ngutang bahasa jawanya), begini : ” Tahukah Anda perbedaan antara ”ngutang” dan ”menabung”.?
Jawabnya, menabung berarti berusah-susah dulu, bersantai-santai kemudian (relatif), sedangkan ”ngutang” sebaliknya, anda bersantai lebih dulu, merasakan susahnya kemudian”. Memang analog jawaban yang relatif kurang tepat, namun pasti Anda memahami maknanya, yaitu paling tidak kita tidak membebani keluarga kita, karena kesalahan kita dalam mengelola keuangan.
d. Nomor satukan pengeluaran yang pokok (prioritas)
Didepan sudah kami jelaskan, bahwa kalau kita mencoba menginventarisasikan pengeluaran rumah tangga kita setiap bulannya, berdasarkan pengalaman dari mereka yang terjun dibidang ”Perencanaan Keuangan Keluarga” rata-rata dapat mencapai 20 sampai 25 pos. Dari pengeluaran tersebut, maka selanjutnya, kita perlu melakukan analisa agar pengeluaran tersebut terkelola secara bijak, yaitu pertama lakukan iventarisasikan pos-pos tersebut, dan lakukan kontrol yang berkelanjutan (kini dan kedepannya) atas pos – pos yang bisa dihemat, seperti biaya listrik, telpon, pembelian pulsa HP, makan diluar dsbnya). Kedua adalah utamakan (prioritaskan) pengeluaran –pengeluaran yang kita tanggung setiap bulannya misalnya untuk kebutuhan pokok/biaya hidup; Cicilan pinjaman, beban bunga dan yang terakhir pengeluaran untuk assutansi atau cadangan resiko lainnya).
Ke 3 (tiga) pengeluaran tersebut (biaya hidup; cicilan pinjaman dan assuransi) dalam prakteknya, sering membingungkan kita, dalam menentukan skala prioritasnya, karena terbatasnya penghasilan yang kita miliki. Kebijakan keluarga yang satu dan yang lainnya dapat berbeda, dan tergantung kondisi mereka masing-masing serta tentunya mereka memiliki alasan tersendri. Namun demikian, dalam menentukan skala prioritas pengeluaran yang dalam prakteknya tidak begitu mudah, disarankan ”mendahulukan beban yang berkaitan dengan pihak ketiga (seperti cicilan pinjaman), selanjutnya biaya hidup atau assuransi (atau sebaliknya).
Kebijakan keuangan yang perlu kita miliki
Dari gambaran uraian diatas, maka dapat disimpulkan, untuk meminimalkan krisis keuangan rumah tangga kita, ada beberapa resep yang pelan-pelan dapat kita praktekkan dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu :
• Mengetahui perbedaan antara pengeluaran karena ”kebutuhan” dengan pengeluaran karena ”keinginan”
• Mengetahui perbedaan antara ”kekayaan” dengan ”penghasilan tinggi” dan memahami seberapapun penghasilan kita tidak selalu menjamin apakah kita bisa memupuk kekayaan”
• Mengetahui bahwa kebutuhan kita ini tak terbatas, sedangkan penghasilan kita terbatas (seberapapun penghasilan kita, akan habis memenuhi kebutuhan kita)
• Memiliki kekayaan (dengan sikap menabung walaupun sedikit demi sedikit) tergantung 100% pada sikap kita, bukan semata, besar kecilnya penghasilan
• Jika saat ini, kita memiliki penghasilan yang cukup, paling tidak bersyukurlah dan sebaliknya jika penghasilan kita terbatas, kita juga dituntut untuk ”berusaha” untuk mengelola keuangan secara baik, karena kalau tidak ”kita tidak akan memiliki apa-apa” (selain permasalahan).
Penutup
Semoga dengan berani memotret keadaan keuangan kita, khususnya pengeluaran-pengeluaran kita yang tidak bijak (pemborosan), dan dilanjutkan dengan melakukan pendekatan pengelola keuangan keluarga kita yang diharapkan lebih bijak dari sebelumnya. Kita dan keluarga bisa memimalkan resiko. Bola krisis yang ditendang oleh Amerika, sudah ada dirumah kita, bukan didepan pintu rumah kita. Semoga kita ”dapat bertahan” dalam menjalani hidup dan juga berdoa bagi sesama, kita. Semoga mereka juga dikuatkan. Semoga.
0 comments:
Post a Comment